Jainisme

                     Jainisme adalah salah satu ajaran paham jaina di india, yang golongkan ke dalam nastika (heterodoks) karena tidak mengakui otoritas veda.[1] Tradisi yang dikembangkan adalah heterodoks , atheisme namun spiritual. Jaina merupakan sebuah agama minoritas, yang masih hidup hingga saat ini di india.[2]
Dapat dijelaskan lebih ringkas, agar kita dapat mengetahui lebih dekat dengan apa yang akan penulis bahas yaitu tentang ajaran jaina (jainisme).
Filsafat India dibagi menjadi dua:
  1. Astika (Menerima veda), terbagi dua :
1.      Berdasarkan veda secara langsung, terbagi dua :
a.       Menekankan kehidupan Aktif  (Mimamsa)
b.      Menekankan kehidupan Kontemplatif (Vedanta)
2.      Berdasarkan nalar independen (Nyaya, Veisesika,       sankhya dan yoga)     
  1. Nastika (Menolak veda), terbagi dua :
1.      Materialistik (carvaka)
2.      Spiritualistik (Jaina dan Buddhisme)[3]
 jaina artinya `penakluk spiritual` orang yang telah berhasil menaklukkan keinginan kenginannya. sekalipun pengikutnya sangat sedikit dibandingkan penduduk india agama ini masih eksis dengan pengikut pengikutnya yang terpencar diberbagai wilayah. [4]
Sejarah
Asal mula ajaran ini diperkirakan sudah ada pada zaman prasejarah india. Orang-orang pengikut jaina `Jainisme` mempercayai dengan adanya 24 Tirthankkara atau pendiri keyakinan dari mana keyakinan dan agama jaina diturunkan dan berkembang. Menurut tradisi jaina, Tirthangkara pertama adalah Rsabhadeva yang merupakan pendiri jainisme dan terakhir adalah mahavira, pahlawan spiritual besar yang namanya juga adalah “vardhamana”. Mahavira, nabi terakhir tidak bisa dipandang sebagai pendiri, karena sebelum beliau ajaran-ajaran jaina telah ada. Tetapi mahavira memberikan orientasi baru sehingga jaina moderen menganggap ajaran jaina berasal dari mahavira. Ia hidup pada abad ke enam sebelum masehi se-zaman dengan budha.[5]
Ajaran ini menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan sebagainya. Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau penyebar keyakinan dan yang telah mendapat pencerahan.[6]
Epsitemologi
Dalam aspek epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan testimoni orang lain, kita semestinya meragukan validitas persepsi, karena sekalipun persepsi kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri memakai inferensi (anumana) ketika mengatakan bahwa semua inferensi adalah invalid, dan juga ketika mereka menolak eksistensi objek-objek karena mereka tidak dilihat. Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan testimony (sabda) sebagai sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan pengetahuan valid ketika ia mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat. Testimoni valid ketika ia merupakan laporan otoritas terpercaya. Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang sucu yang telah terbebaskan (jaina atau tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini mendapatkan pengetahuan yang benar yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang masih terbatas. Testimoni Tirthankara ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.[7]
Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi, pengetahuan langsung (aparoksa) dan pengetahuan antara (paroksa). Pengetahuan langsung lebih lanjut lagi dibagi lagi menjadi avadhi, manahparyaya dan kepala; dan pengetahuan antara menjadi mati dan sruta. Mati mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial. Sruta berarti pengetahuan yang diambil dari otoritas. Avadhi-jnana, manahparyaya-jnana, dan kevala-jnana merupakan tiga jenis pengetahuan langsung yang bisa dikatakan sebagai persepsi ekstra biasa dan ekstra sensori avadhi adalah kemampuan melihat hal-hal yang tidak Nampak oleh indra; manahparyaya adalah telepathi; dan kevala adalah kemahatahuan. Disamping kelima pengetahuan benar tersebut diatas, ada juga tiga pengetahuan salah, yaitu samshaya atau keragu-raguan, viparyaya atau kesalahan dan anandhyavasaya atau pengetahuan salah melalui kesamaan.[8]
Pengetahuan lagi dibagi menjadi dua jenis, yaitu pramana atau pengetahuan tentang suatu benda seperti apa adanya, dan naya atau pengetahuan tentang suatu benda didalam hubungannya dengan yang lainnya. Naya berarti titik pandang atau pendapat dari mana kita membuat pernyataan tentang sesuatu . Semua kebenaran adalah relativ terhadap pandangan kita. Pengetahuan parsial merupakan salah satu aspek yang takterhitung banyaknya tentang suatu benda disebut  “naya” . Terdapat tujuh naya yang empat pertama adalah artha-naya, kemudian tiga terakhir disebut sabda-naya.[9]
Jaina percaya dengan pluralisme roh; terdapat roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki kesadaran, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun indria-indrinya, roh terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga terbatas dalam tenaga dan mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan menyingkirkan karma roh dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan alamiah.[10]
            Tiga cara menyingkirkan belenggu, yaitu keyakinan yang sempurna dalam ajaran-ajaran guru-guru jaina, pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut, dan perilaku yang benar. Perilaku benar terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan akan dikendalikan dan karma yang membelenggu roh akan disingkirkan. Lalu, roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak terbatas, dan kebahagian yang tak terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran jaina. Hal ini telah dibukatikan oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara. Mereka memperlihatkan jalan menuju moksa.[11]
Metafisika
Di dalam aspek metafisikanya, jainisme mengambil posisi realistik dan pluralism relativistik. Ia disebut atau doktrin pluralistik realitas. Material dan spirit dipandang sebagai realitas-realitas yang independen dan terpisah. Terdapat atom-atom material yang tak terhitung jumlahnya dan roh-roh individu aspek-aspek dirinya yang juga tak terhitung jumlahnya. Sebuah benda mempunyai karakteristik yang tak hingga jumlahnya . setiap objek mempunyai karakter positif dan negative yang tak terhitung jumahnya. Adalah tak mungkin bagi manusia biasa untuk mengetahui semuanya itu. Kita hanya tahu sebagian kecil saja. Oleh karena itu, jainisme  mengatakan ia yang mengetahui semua sifat benda di dalam satu benda, mengetahui semua sifat semua benda, dan ia mengetahui semua sifat semua benda. Mengatahui senua sifat di dalam satu benda. Pengetahuan manusia, dengan melihat kapasitasnya yang terbatas , ia adalah relativ dan terbatas dan semuanya merupakan keputusan kita. Teori logika dan epistemologi Ajaran jaina ini disebut “syadvada”. Baik anekantavada maupun syadvada merupakan dua aspek dari ajaranyang sama –realistik dan prulalistik relativistik. Sisi metafisikanya bahwa realitas mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya disebut anekantavada, sementara pandangan logika dan epistemologinya bahwa kita hanya dapat mengetahui beberapa aspek saja dari suatu realitas di dunia dan oleh karena itu keputusan-keputusan kita bersifat relativ, maka ia disebut syadvada dan ada tujuh golongannya:
1.      syadasti:secara relative, sebuah benda riil.
2.      Syannasti:secara relative, sebuah benda tidak riil.
3.      Syadasti nasty:secara relative, sebuah benda keduanya riil dan tidak riil.
4.      Syadavaktavyam:secara relative, sebuah benda tak bisadijelaskan.
5.      Syadasti cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda riil dan tidak bisadijelaskan.
6.      Syannasti cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda tidak riil dan tidak dapat di jelaskan.
7.      Syadasti cha nasty cha avaktavyam: secara relative, sebuah bendarill, tidak riil dan tidak bisa dijelaskan.
Masyarakat jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik. Sementara dalam kasus orang umum hal itu bisa di modifikasi. Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta), sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta). Kelima sumpah tersebut adalah (1) ahimsa (non kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam pikiran), (3) asteya (tidak mencuri), (4) brahmacharya (berpantang dari pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan maupun perbuatan), dan (5) aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam halo rang umum, aturan ini bisa di modifikasi dan disederhanakan.[12]
Seperti buddhisme, jainisme adalah sebuah agama yang tidak mempercayai adanya tuhan, menolak veda oleh karena itu disebut nastika. Tetapi, jaina menekankan pada aspek etika dn spiritual.[13]
Simpati kepada semua makhluk hidup adalah salah satu ajaran utama jaina. Jaina juga menghormati semua jenis pemikiran. System ini menunjukkan bahwa setiap objek mempunyai aspek-aspek yang tak terbatas yang ditentukan oleh dirinya sendiri dan bukan dari luar dirinyasendiri atau dari pandangan yang berbeda. Semua keputusan benar terhadap suatu benda sepanjang berhubungan dengan benda tersebut. Mengingat keterbatasan pikiran, tidak ada satu pikiran berlaku benar bagi semua benda atau hal. Kita harus belajar menjaga dan memprtahankan pikiran kita masing-masing dengan cara menghormati kemungkinan benar pendapat atau pemikiran orang lain.[14]
Sedangkan      Karma adalah pengikat yang menggabungkan roh dengan tubuh. Keyakinan yang benar, perbuatan yang benar, pengetahuan yang benar membentuk jalan yanga benar untuk mencapai pembebasan yang merupakan efek dari ketiganya tadi. Ketiganya ini merupakan triratna (tiga permata) bagi jainisme.
Sekte
Didalam perkembangannya, jainisme pecah menjadi dua sekte, yaitu swetambara atau (yang berpakaian putih) dan dirgambara atau (yang berpakaian langit). Perbedaannya adalah hanya dalam beberapadetail ajaran dan praktek agama yanga bersifat minoritas. Secara fundamental tidak ada perbedaannya. Pecahnya menjadi dua sekte tersebut tidak berpengaruh kepada jainisme yang esensial. Dirgambara lebih keras dan sangat fanatik, sementara swetambara lebih akomodatif. Aturan agar berpakaian putih atau telanjang bulat hanya berlaku bagi pendeta tertinggi dan bukan untuk orang kebanyakan; tidak juga bagi pendeta yang rendah. Menurut swetambara, pendeta tertinggi harus mengenakan jubah putih, sementara menurut dirganbara, mereka harus tidak mengenakan kain secarikpun. Menurut sekte dirgambara mereka harus mempertahankan hidup pertapa yang sempurna, tidur hanya tiga jam sehari, makan dari meminta-minta, susah waktunya untuk belajar dan mengajar, dari wanita tidak dapat mencapai pembebasan: sementara swetambara menolak pandangan ini. Kehidupan kependetaan dirgambara sangat keras dan ketat didalam hal disiplin. Karenanya pengikutnya sangat kecil jumlahnya. [15]
Penutup
Jainisme adalah sejenis realisme karena menegaskan adanya realitas dunia eksternal; pluralism, karena ia percaya dengan banyak realitas tertinggi. Ia adalah atheism karena ia menolak eksistensi tuhan. Disamping itu  jainisme juga tidak mempercayai otoritas tertinggi, oleh karena itu digol Jaina tidak percaya dengan ajaran Tuhan,
Tirthankara mengambil posisi Tuhan. Mereka dipuja dan dijakdikan cita-cita hidup pengikutnya.ongkan kedalam nastika.




Daftar Pustaka

Suamba, Putu, I.B,. Dasar-dasar Filsafat India. Denpasar: Mabhakti, 2003.
Matthews, Warren. world religion. Canada: Wadsworth Publishing, 1999.
[1]
           


[1] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti, 2003), h. 303.
[2] Warren Matthews, world religion, (Canada: Wadsworth Publishing, 1999), h. 178-179.
[3] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 305.
[4] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 314.
[5] Warren Matthews, world religion, h. 179.
[6] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 315
[7] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 315-316.
[8] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 316.
[9] Ibid.,
[10] Ibid., h. 18
[11] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 320.
[12] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 319.
[13] Warren Matthews, world religion, h. 183.
[14] Ibid., h. 185.
[15] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 322-323.
oleh: mahbubrisad


Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar

New

Iklan Gratis

ads ads ads ads
 

About Me

kukuruyuk
Pencarian yang tiada Henti
Lihat profil lengkapku
free counters Website counter